Hikayat Orang-orang Pandeglang dan Bola Api

Tulisan dibawah ini, adalah artikel yang saya buat dan kemudian dikirim ke Media Online nan Satire Mojok. Tapi, via platform UGECE (User Generated Content ) Terminal Mojok. dan, dimuat pada tanggal 11 Oktober 2020. Tulisan dibawah ini adalah versi aseli pertama kali saya mengetik. Jadi jika anda ingin membandingkan dan membaca versi terbitan Mojok, bisa langsung ke Terminal Mojok atau melihatnya di Portofolio blog ini. Selamat Bercukur Ria....


 

 ***

Saya sebetulnya agak takut kalau harus menulis soal orang-orang Pandeglang. Apalagi kalau sampai foto penulis juga ikut dimuat. Itu berbahaya bagi jiwa penulis yang hidup di tanah bola api terbang’. Tapi itu dulu. Karena semakin modern Pandeglang, semakin hilang juga itu ‘bola api terbang’ dilangit Pandeglang.

Soal sejak kapan langit Pandeglang bersih dari bola api yang seliweran, saya sendiri tidak yakin. Terakhir saya melihat ‘bola api terbang’ melesat dari arah timur menuju barat laut. Itu 24 tahun yang lalu. Di malam yang sama ketika Bapak khusuk menonton dunia dalam berita yang mengabarkan kematian Ibu Negara.

Cerita tentang bola api yang bisa terbang, sesugguhnya tidak asing bagi para 3 generasi yang hidup di Kabupaten Pandeglang khususnya Pandeglang Selatan. Baik generasi Baby Boomers, Generasi X, ataupun generasi Milenial, kalaupun belum pernah melihat, mereka akan percaya penuh ketakjuban jika ada cerita bola api terbang melintas di kampung mereka.

Tetapi, begitu usia menginjak akil balig, setiap orang akan merubah penilaiannya tentang bola api terbang. Alih – alih tambah takjub dan mencobanya, kami akan segera menghapusnya dari isi kepala. Karena ternyata, bola api terbang bukanlah sesuatu yang baik walaupun elok dilihat. Bola api terbang adalah salah satu produk ilmu purbakala yang hanya bisa dimiliki sedikit orang saja.

Dalam sejarahnya, orang yang sedikit ini adalah bagian dari kelompok masyarakat yang hidup menyendiri karena saking tingginya ilmu yang dimilikinya. Orang-orang biasa akan segan bahkan takut sekalipun hanya untuk menyebut namanya. Saking sedikitnya orang yang memiliki kemampuan ini, apabila dihitung belum tentu dalam satu tingkat kecamatan apalagi desa terdapat orang jenis ini.

Selain itu, ada pula kelompok yang berisi orang-orang sakti mandraguna dan dekat dengan aktifitas persilatan. Mereka adalah kelompok kedua dengan identitas khusus yang hidup di Pandeglang bahkan jauh sebelum datangnya Islam. Sekalipun zaman berubah dan kekuasaan berganti, kelompok ini tetap ada dan akan muncul dan mudah dibedakan.

Kelompok lainnya yang ada di Pandeglang adalah kelompok Santri. Berdirinya Kesultanan Banten tahun 1526 dan hadirnya Syekh Asnawi dengan mendirikan Madrasah tahun 1884 di Caringin menuntun orang-orang Pandeglang menjadi kelompok terbesar yang hidup di daerah Pandeglang. Sehingga, wajarlah jika di kemudian hari kota Sejuta Santri dan Seribu Ulama begitu melekat dengan identitas Kota Pandeglang.

Sebagai sebuah administratif, Pandeglang menentukan tahun 1874 sebagai hari lahir Pandeglang. Artinya tahun ini Pandeglang telah berusia 146 tahun. Namun, sebagai sebuah peradaban sejatinya Pandeglang telah lahir dan tumbuh berkembang sejak abad ke 12 sampai 14. Artinya, sejak 900-700 tahun yang lalu, Pandeglang sudah memiliki peradaban maju dan berinteraksi dengan peradaban lain di luar sana.

Namun, besarnya angka usia Kota Pandeglang ternyata memang tidak ada sangkut pautnya dengan kemajuan. Toh orang-orang Pandeglang tidak terlalu ambil pusing dengan angka-angka.

Sebagai sebuah hikayat, membaca dan merenungi Pandeglang dan orang-orangnya hari ini amatlah unik. Seunik ekspresi Tan Malaka saat melihat debus. Minimal terdapat 2 keunikan yang paling utama dan merupakan faktor utama yang mencerminkan perilaku hidup orang-orang Pandeglang.

Pertama, orang Pandeglang sangatlah rasional. Perubahan lelaku orang Pandeglang dari dunia magis ke alam rasional tidak lain sejak datangnya Islam ke Tanah Banten. Islam telah mengajarkan kami menjauhkan diri dari perbuatan syirik sehingga jimat, dan ‘bola api terbang’,  ditempatkan pada ruang ghaib yang tabu, dan haram untuk dipercaya.

Jimat (azimat) adalah benda yang dianggap dapat membawa manfaat bagi orang yang membawanya. Sedangkan ‘bola api terbang’ adalah produk purbakala yang diterbangkan oleh orang sakti dari kelompok yang sedikit. ‘Bola api terbang’ adalah pesan yang melintasi langit hingga berkilo-kilo jauhnya dan mencari target penerima pesan bebas roaming. Karena 2 hal ini adalah dekat dengan dunia ghaib maka diharamkan ulama.

Kedua, orang Pandeglang sangatlah hangat dan bersahabat. Hal ini dapat kita lihat dari perilaku orang-orang Pandeglang yang senang bergaul, bersosialisasi dan bergerombol. Sifat dan sikap yang hangat ini tampak pada lelaku hidup orang-orang Pandeglang yang mudah berkenalan, bersosialisasi bahkan menyambut tamu yang baru dikenalnya sekalipun. Mereka akan menawarkan air minum, makanan, ataupun rokok yang tinggal 2 batang.

Wujud dari dua hal unik diatas, orang-orang Pandeglang menjalani hidup yang penuh kepercayaan diri, penuh gairah, dan hidup dalam kenyataan. Orang-orang Pandeglang mempercayai apa yang dilihat dan dirasakan langsung ketimbang katanya, menurut si A, sekalipun berdasarkan data. Maka tidak heran segala sesuatu di internet tidak akan berguna bagi orang-orang Pandeglang.

Selain itu, sajian nasi liwet, lalaban dan lauk pauk yang dibakar saat itu juga, tidak lupa sambal yang diolah dadakan menjadi wujud dari kehangatan dan bersahabatnya orang-orang Pandeglang. Sajian ini akan ditempatkan diatas daun pisang dan di kerumuni orang-orang. ‘Babacakan’ adalah arena mulia dan wujud keberhasilan orang-orang Pandeglang menarik turun bola api terbang dari dunia magis ke dunia nyata.

Nah, jika teman-teman ingin memastikan dan melihat dengan mata sendiri kedua ciri unik ini, 2 bulan kedepan adalah waktu yang terbaik. Kedua ciri unik ini akan tampak dimana-mana hingga diseluruh pojokan Kabupaten Pandeglang. Sebagai puncak hasrat peradaban manusia modern, Pilkada adalah momentum dimana semua jenis manusia akan menampakkan perilaku dirinya.

Sebagai bocoran dan jangan heran, bila besok kedua calon pasangan tampil seadanya. Visi-misi tak beda dengan contekan ulangan midsemester karena toh orang-orang Pandeglang cenderung tidak peduli. Jangan heran juga kalau petahana bisa jadi terpilih kembali, karena apa yang dilakukan periode kemarin adalah sejarah yang tak perlu diingat kurang-lebih pencapaiannya.

Untuk lima tahun ke depan? Orang-orang Pandeglang tak perlu rencana, ‘kumaha engke’. Karena yang direncanakan sering tidak jadi. Tidak terlaksana. Iya gak sih?

Maka diakhir kata, sesungguhnya bola-bola api tidak benar-benar hilang dari negeri para santri. Bola api tak perlu lagi diterbangkan karena segala sesuatu yang berada dilangit adalah ghaib, dan segala sesuatu yang bisa dinikmati bersama adalah mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tukang Ngintip, Coment Dong..