RESENSI FILM KEREN : FILOSOFI KOPI
Sutradara :
Angga Dwimas Sasongko
Skenario :
Jenny Yusuf
Penulis Naskah : Jenny Jusuf
Durasi : 117 menit
Tanggal rilis : 9 April 2015
Produksi : Visinema Pictures
Pemain :
Chico Jericho sebagai Ben
Rio Dewanto sebagai Jody
Julie Estelle sebagai El
Jajang C. Noer sebagai Bu
Seno
Otiq Pakis sebagai Ayah
Ben
Ronny P. Tjandra sebagai Pengusaha
Slamet R. Djarot sebagai Pak
Seno
![]() |
Filosofi Kopi |
Film ini
membuka tirai panggung cerita dengan memperlihatkan 2 aktifitas paralel
diseputar komoditas nusantara-biji kopi. Pertama aktifitas Jody yang menerima
pesanan biji kopi dan Ben yang tengah sibuk meracik dan berdakwah soal kopi
buatannya. Aktifitas lainnya adalah aktifitas petani yang memetik biji kopi,
mengolah biji kopi secara tradisional dan meraciknya dengan cara sederhana.
![]() |
Filosofi Kopi : Ben meracik kopi layaknya ilmuwan meracik bahan kimia |
Opening film yang diiringi
lagu Gede Robi dengan judul Kisah Secangkir Kopi ini sebetulnya merupakan kisi-kisi cerita. Dimana nantinya kedua cara meracik kopi akan saling berhadapan nanti. Ben yang notebene seorang barista penuh obsesi dan ambisi jika bicara
soal kopi, akan berhadapan dengan Pak Seno seorang petani dan penjual kopi warung biasa di pedalaman.
Namun sebelum adegan
itu datang, film hasil adaptasi cerpen karya Dee Lestari ini penuh
makna terutama buat saya pribadi. Mengapa? Film Filosofi Kopi meracik persahabatan, cinta, perjuangan, masa lalu dan bisnis menjadi cerita siap saji. Jadi, menurut Luqman Wibowo untuk resensi film keren yang ini bisa teman-teman baca dan nontonlah film ini pelan - pelan! Karena sangat-sangat layak.
Persahabatan dalam
cerita ini, ditunjukkan oleh dua tokoh utama dalam film ini. Ben (Chico Jericho)
dan Jody (Rio Dewanto) yang telah tumbuh bersama jauh sebelum
mereka dewasa. Itu karena Ben akhirnya diadopsi atau diurus oleh ayahnya Jody bagai anak sendiri. Sekalipun tumbuh bersama, keduanya memiliki watak dan karakter yang berbeda. Jika Ben tumbuh dengan rasa penasaran dan penuh obsesi tentang kopi, sementara Jody sebagai trah China membawa ciri dan
karakter tajam soal bisnis dan rasa persahabatan disisi lain.
Melalui dua tokoh ini,
setidaknya saya belajar 4 hal. Pertama, mereka membangun bisnis yang sebenarnya
rentan bagi status persahabatan mereka. Apakah anda pernah mendengar pendapat
liar bahwa "sebaiknya jangan bekerja atau berbisnis dengan sahabat dekat. Karena,
bila bisnis gagal itu akan mengganggu persahabatan kalian." Nah, dalam film ini
persahabatan mereka diuji.
![]() |
Filosofi Kopi : Jody dan Ben |
Kedua, melalui tokoh
Jody yang merupakan pebisnis, ia mengajarkan kita banyak hal soal negosiasi dalam berbisnis. Contohnya,
ketika Jody mengajak Ben untuk segera kembali ke kedai agar kedai tetap
buka pada jam makan siang. Ben dengan terang-terangan menolak dengan alasan itu merupakan jam istirahat. Ben membeberkan pengalamannya di Eropa bahwa kedai kopi
tetap tutup di jam makan siang. Lalu Jody mengajukan fakta keadaan bisnis
mereka dan memberikan opsi untuk memecat salah satu pegawai dengan alasan untuk menutupi biaya operasional mereka yang semakin mepet. Setelah
bolak balik adu pendapat, akhirnya Ben menerima keputusan Jody agar kedai tetap buka pada jam makan siang.
![]() |
Filosofi Kopi Negosiasi jadwal buka diatas motor |
Ketiga, melalui tokoh Ben
kita melihat seorang tokoh anti kemapanan dan pecinta tantangan. Dalam
film ini Ben tanpa ngobrol dan kompromi dengan Jody, menaikkan angka taruhan dari penantangnya. Kejadian yang
bermula dari tantangan seorang pengusaha kepada Ben untuk meracik kopi yang tiada
duanya dan dianggap terbaik se-Ibu Kota. Jika berhasil, ia bisa memberikan uang
sebesar 500 juta sebagai hadiahnya. Ben yang tertantang juga atas dorongan Jody
yang sedang mentok hampir pailit karena hutang warisan ayahnya akhirnya menerima tantangan pengusaha tersebut. Namun, tanpa disangka Jody, Ben dengan seenak hati menaikkan angka taruhannya menjadi 1 milyar. Jika Ben tidak berhasil,
maka Ben dan Jody lah yang akan membayar uang sebesar 1 milyar kepada pengusaha
itu.
Well, begitulah Ben.
Ia adalah seorang anti kemapanan tetapi ambisius dan penuh hasrat jika
berbicara kopi. Menanggapi ulah Ben secara sepihak, tentu saja Jody uring-uringan
dan ngambek setengah mati kepada Ben. Harapan Jody mendorong Ben untuk menerima
tantangan itu adalah demi menutupi utangnya. Sedangkan Ben untuk menunjukkan
eksistensi dirinya bahwa dia adalah barista terbaik se Jakarta bahkan se-Indonesia. Bagi Jody, Ben akan biasa saja dan tidak
menderita kerugian apapun terutama uangnya jika kalah. Selain itu, jika mereka benar-benar kalah dalam taruhan, maka Jody akan rugi dua kali! Begitulah pikiran Jody.
![]() |
Filosofi Kopi : Antusiasme Ben meracik kopi |
Hal keempat, film
Filosofi Kopi menyuguhkan egoisme dan arogansi yang mengekor dibalik
orang-orang ambisius dan merasa menjadi yang terbaik. Hal ini ditunjukkan oleh Ben! Pasca deal soal nilai taruhan, Ben bagaikan seorang peneliti melakukan uji coba
berbagai jenis kopi, cara mengolahnya, dan metode apapun untuk diracik. Hingga pada
waktunya, ia berhasil menemukan racikan yang sesuai digambarkan si penantang.
Sejak menemukan
komposisi yang diklaim ‘sempurna’ oleh para krew kedai Filosofi Kopi, Ben
menjadi sumringah bahkan mendekati jumawa. Ben berada di atas angin dan berasa duduk di singgasana kerajaan kopi karena racikannya berhasil menarik banyak
penggemar kopi. Hingga suatu waktu, datanglah El (Julie Estelle) seorang food
bloger atau lebih tepatnya qu grader dan turut merasakan kopi racikan ‘sempurna’ dengan label ‘Ben’s Perfecto’. Lalu apa pendapatnya? Not
Bad. Hanya not bad! Pukulan telak untuk Ben.
![]() |
Filosofi Kopi : Ben ngotot ingin tahu proses meracik 'kopi Tiwus' |
Dari 4 hal diatas yang
diracik dalam cerita filsofi kopi sangat menarik dan nyatanya memicu
pertumbuhan kedai – kedai kopi di Nusantara. Adapun sebagai karya adopsi dari
cerita pendek dengan judul yang sama, tentu saja wajar jika terdapat penyesuaian
yang lebih relevan. Semisal sang penantang tidak langsung serta merta mencari
Ben melainkan memberikan traktiran pada semua pengunjung di suatu sore. Dalam cerita
pendek karya Dee Lestari itu, sang penantang memprovokasi Ben melalui rasa kopi
yang sesuai dengan setiap tagline atau Filosofi Kopi racikannya.
Ada pula tokoh pria penggemar
kopi dan menganggap kopi adalah jamu yang hanya berkata ‘lumayan’ atas ‘Ben’s
Perfecto’. Bisa jadi seorang pria paruh baya memang akan jadi biasa dan tak ada
kesan mendalam bagi kita ketika menonton adegan ini. Sehingga dalam film, tokoh
yang berbicara ini adalah seorang wanita dengan pangkat ‘qu garder’ dengan
mengatakan ‘not bad’ untuk ‘Ben’s Perfecto’. Hasilnya? Silahkan teman-teman
menontonnya lagi dengan seksama.
Selain itu jumlah uang
yang dipertaruhkan juga berubah dari 50 juta dan naik menjadi 100 juta dalam
cerita pendek. Sedangkan dalam filmnya berubah menjadi 500 juta pada taruhan pertama dan naik menjadi 1
milyar. Mengapa bisa naik? Karena relevansi nilai mata uang yang sudah beranjak
naik. Nilai uang 50 juta dengan setting tahun 1996 akan sebanding dengan 500 juta untuk
tahun 2014. Saking besarnya, saya sendiri menganggap angka itu tidak waras dan
gila jika ada pertaruhan semacam itu hanya untuk racikan kopi.
Melihat dua karakter
tokoh dalam film ini sungguh membuat saya takjub. Keduanya benar-benar seperti
hitam dan putih demi menjalankan roda nasib mereka. Begitu padu dan layak
mendapatkan aplous. Adapun soal ekspresi Ben ketika bertemu pak Seno, banyak
yang mengkritik terlalu berlebihan. Saya sendiri menangkap kecanggungan. Tetapi bukan karena Ben berlebihan
menunjukkan sikapnya kepada Pak Seno, itu karena memang sulit. Disatu sisi
obsesi Ben pada biji kopi, cara mengolahnya dan syarat makna dibungkus pengalaman pahitnya. Sementara disisi
lain kopi racikannya dianggap lumayan dibanding ‘kopi Tiwus’ yang sekedar racikan
tradisional karya Pak Seno.
Bagi yang belum nonton
saya kira teman-teman tak perlu takut dianggap latah atau bahkan terlambat. Ini
bukan saja soal falsafah hidup pada setiap racikan kopi, tetapi ini juga soal
menangkap makna lain dari film ini sendiri. Entah itu motivasi bisnis, motivasi
bertani atau menjadi rentenir sekalian. Yang jelas, benar kata Dee Lestari, “Hidup
tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tukang Ngintip, Coment Dong..