RESENSI BUKU KEREN : JURNALISME SASTRAWI
Judul : Jurnalisme Sastrawi
Penulis :
Agus Sopian. Alfian Hamzah, Andreas Harsono, Budi Setiyono, Chak Rini, Coen
Husain Pontoh, Eriyanto, Linda Christanty
Penerbit : Yayasan Pantau
Tahun Terbit : Oktober, 2005
Cetakan : Pertama
Jumlah Halaman : 352
ISSBN : 979-97945-1-X
Hal apa yang
akan terjadi jika seseorang atau warga ditanya tentang sebuah peristiwa yang membekas dan menyebabkan
trauma karena kehilangan? Fase pertama, mereka bercerita dan berharap ada
keadilan datang secepat jurnalis mengabarkan derita mereka. Fase kedua mereka
bercerita sambil berdo’a keadilan akan datang sekalipun terlambat. Fase ketiga
mereka mengulang cerita dan menitikkan air mata karena keadilan dan kebenaran tak
kunjung datang. Fase keempat, “percuma kami bercerita. Toh kebenaran tidak membawa
keluarga kami kembali”.
Pada fase
keempat itulah Chik Rini menukik dan mendalami peristiwa di Simpang Kraft tahun
1999. Simpang Kraft adalah sebuah tempat dimana tragedi sekelompok orang
berseragam loreng memberondong para demonstran yang tak lain adalah warga Aceh.
Chik Rini menuliskan peristiwa ini dengan menelusuri laporan jurnalis RCTI dan
Antara sebagai pengabar berita sekaligus saksi kejadian. Lalu ia mencari
saksi dan korban dengan menapaki
daerah Simpang Kraft.
Sungguh tidaklah mudah menggali
informasi dari para saksi dan korban di fase keempat. Namun Rini berhasil menyelam dibawah tekanan
arus trauma dan ketidakpercayaan para korban. Rini membawa permata menjadi
karya keatas permukaan samudera jurnalisme. Ia memberi judul
“Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” atas hasil liputannya. Saya merasa berada disana, menangis.
Rini
membutuhkan waktu 5 bulan untuk menyusun laporan super dalam ini. Begitu juga
penulis lain cukup memakan waktu dalam menyusun narasi. Hal ini dijelaskan
dalam pengantar buku ini dimana genre ‘Jurnalisme Sastrawi’ merupakan hasil
laporan mendetail dan menyeluruh, disusun per-adegan, serta menggunakan sudut
pandang orang ketiga.
Riset dan verifikasi atas informasi benar-benar dilakukan dengan teliti,
sehingga akurasi laporannya bisa seratus persen dipercaya.
Buat saya
yang baru saja menjerumuskan diri di dunia jurnalistik, buku Jurnalisme Sastrawi ini cukup Keren.
Pada pengantarnya memberikan petunjuk yang cukup jelas soal genre jurnalisme
yang jarang digunakan di negara ini. Sebagaimana judulnya “Antologi Liputan
Mendalam dan Memikat” para penyusun buku Jurnalisme Sastrawi ini menyajikan komposisi yang pas melalui delapan
hasil liputan.
Pertama kita
dibawa belajar menyusuri setiap saksi dan informasi, lalu merasakan berada disana
saat itu. Kedua, menggali latar belakang dibalik pelaku ledakan bom Bali dan
Natal. Ketiga, melihat seorang pemulung biasa yang dibakar, tapi membuka mata
dunia jurnalisme yang bermata dua. Keempat, soal pesan dan amanat tidak langsung Coen Husain
Pontoh, jika ingin mendirikan perusahaan pers, belajarlah kepada Tempo. Kelima, semacam Behind in Scene tentara yang bertugas di
Aceh. Keenam, hal cukup mengerikan dan kenyataan. Inilah dunia seribu wajah.
Ketujuh, Koes Bersaudara bermain musik demi sebuah misi yang tak terungkapkan.
Kedelapan, sekali lagi untuk para pemimpi di dunia jurnalis, belajarlah pada The New Yorker.
Akhir kata, sekalipun
diakui sendiri oleh para editor dan penyusunnya bahwa karya ini adalah
coba-coba dan masih jauh jika disandingkan dengan pendahulunya terutama John
Hersey lewat ‘Hiroshima’ ataupun
Truman Capote dengan ‘In Cold Blood‘. Tetapi
buku jurnalistik keren ini sangat sangat layak dan mendapatkan tempat di hati para jurnalis. Saya
sendiri seorang pemula merasa disentil, “Mau
jadi jurnalis macam apa nanti?”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tukang Ngintip, Coment Dong..